Liburan adalah saat yang sangat
ditunggu-tunggu bagi setiap orang, entah itu pelajar, nahasiswa, maupun para
pekerja. Dengan liburan kita dapat berekspresi sepuasnya. Ada berbagai cara
untuk mengekspresikan jiwa setiap orang, ada yang sengaja bersantai di rumah
hanya sekedar istirahat, makan, tidur, berkumpul bersama kerabat atau kawan
lama, ada yang mengisi liburan dengan belanja, membuat suatu kreativitas, serta
ada beberapa orang yang memilih untuk pergi ke suatu tempat yang menarik. Saya
sendiri adalah lebih suka dengan pilihan terakhir yang disebutkan itu.
Liburan panjang semester 2 di
perkuliahan kali ini saya isi dengan mendaki gunung. Di bulan Agustus adalah
waktu yang sangat tepat un
tuk melakukan pendakian. Dengan kondisi yang kering,
mengakibatkan langit malam akan terlihat lebih terang dipenuhi bintang.
Saya memilih melakukan
pendakian, karena selain ingin melihat seperti apa tiga tempat yang akan saya
tuju, juga karena saya gemar bermain di gunung. Entah itu sekedar kopdar dan nyanyi-nyanyi di dalam tenda,
masak-masakan, saling berlomba kedinginan tanpa jaket di puncak gunung
(walaupun hal tersbut sedikit berbahaya, karena bisa terkena hipotermia), serta
mencari teman bermain yang baru.
Kegiatan pendakian tersebut
sudah saya rencanakan sejak puluhan hari sebelumnya. Kebetulan teman saya yang
bernama Alam Septian, salah satu anggota Lawalata juga mengajak saya untuk
melakukan pendakian ke gunung. Saat itu saya memutuskan untuk bergabung bersamanya,
yang ternyata ada lagi empat teman anggota Lawalata IPB yang lain serta empat
orang teman Alam. Ajakan-ajakan tersebut kami lakukan hanya lewat media telepon
genggam dan media sosial.
Dalam pendakian ini, kami
memilih Gunung Merbabu yang berada di sekitaran Magelang, dan puncak Sikunir
serta Gunung Prau yang tepat berada di dataran tinggi Dieng dengan ketinggian
yang beragam.
Tanggal 8 Agustus 2014 akhirnya
kami bertemu di suatu tempat di Yogyakarta, yaitu dii Benteng Vendenburg.
Tempat tersebut kami pilih karena menurut kami itu adalah titik tengah antara
tempat asal mula keberangkatan kami dengan tempat pertama yang akan kami tuju.
Saya sendiri berangkat dari Banjarnegara, 3 orang teman saya yaitu Akbar,
Galang, dan Kasrizal sudah terlebih dahulu ada di Yogyakarta, Hanif dari
Purworejo, Alam dan Gigih dari Bogor, dan Afan dari Probolinggo, dan Reza dan
Betseba dari Bandung.
Kami merasa sangat puas
melakukan tiga kali pendakian dalam 5 hari. Walaupun perjalanan di setiap
puncak adalah jalur-jalur pendek saja. Awalnya kami menuju ke gunung Merbabu
melewati jalur Wekas, jadi terlebih dahulu kami harus menuju ke terminal
Magelang. Saat itu biaya dari Yogyakarta sampai Magelang adalah Rp.15.000.
Setelah itu barulah menuju pos pendakian yang berada di desaWekas dengan satu
buah mobil angkutan. mobil tersebut sangat kuat melewati jalanannya yang
berliku dan menanjak dengan beberapa badan dan ransel bawaan kami.
Untuk mencapai puncak Merbabu
hanya sekitar 7 jam pendakian melewati jalur Wekas. Kala itu kami melakukan camping terlebih dahulu di pos 2 yang
telah memakan waktu 2 jam dari perkampungan. Seperti yang saya inginkan dalam
melakukan pendakian, kami saling berbincang dan bercengkrama, ngopi bersama,
masak-masak dan makan-makan, serta yang paaling menyenangkan adalah tertawa
bersama melingkar di depan peraian sambil menyerobot tempat duduk satu sama
lain.
Dini hari kami melanjutkan
perjalanan untuk mendapatkan pemandangan sunrise
di puncak Merbabu. Dalam perjalanannya kami melewati pertigaan pos pemancar,
dan disanalah kami beristirahat sembari memandang langit yang mempesona.
Setelah itu kami melanjutkan
mengejar sang mentari, dan berharap dapat menyaksikan perjalanannya menuju
titik tengah langit untuk menerangi bumi kita ini. Benar saja pemandangan
matahari terbit di sana sangat menawan, dengan warna merahnya itu kami
terkagum-kagum. Tak henti-henti untuk mengucapkan syukur kepada sang Kuasa.
Pemandangan ini memang layak didapatkan ketika telah melewati sebuah
perjuangan.
Beberapa jam berlalu, kami
tertidur di ketinggian 3142 MDPL itu, kami merasa sangat nyaman menikmati
kehangatan sang mentari. Setelah puas, baru kami turun dari puncak dan bersiap
untuk melanjutkan perjlanan berikutnya. Kali ini uncak Sikunirlah yang pertama
kami tuju.
Sesampainya di pos pendakian,
kami langsung diantar dengan mobil bak terbuka menuju kembali ke terminal
Magelang. Setelah itu beberapa orang dari kami memilih pulang dan tidak
mengikuti pendakian kami selanjutnya. Yang memilih untuk mengikuti pendakian
selanjutnya adalah saya, klsmd, Alam, Reza, dan Bertseba. Kami mulai menuju
terminal Wonosobo dengan bis yang biayanya Rp.15.000 per orang. Di sana kami
terlebih mengisi perut dengan makanan khas Wonosoboan, cita rasa yang khas
melengkapi hasrat lapar kami, inilah yang namanya “mie ongklok”. Setelah itu
dilanjutkan dengan bis mini menuju ke dieng, dengan tarif Rp.15.000 juga.
Bis tersebut nyatanya hanya
tidak langsung sampai ke tempat yang kami tuju, kami masih harus melanjutkannya
dengan bis mini lainnya dengan waktu selama 45 menit.
Tanpa ragu kami turun di
pertigaan menuju desa terakhir sebelum ke puncak Sikunir. Desa tersebut bernama
desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi yang ada di pulau Jawa dengan
ketinggian 2300 MDPL. Keadaan sudah sore dan sudah mulai gelap.
Namun kami tetap kokoh untuk
mencapai puncak malam itu juga. Akhirnya kami terus mengikuti jalanan aspal
tersebut. Dan tak lama kemudian, kami mendapat tumpangan bahkan sampai di desa
terakhir yang kami tuju tersebut. Dan beruntungnya kami, tumpangan tersebut
rela mengantarkan kami tanpa meminta bayaran sepeserpun.
Sampai di desa Sembungan kami
beristirahat sebentar dan mengisi persediaan air di suatu Mushola. Barulah kami
melanjutkan pendakian. Kurang dari satu jam ternyata kami sudah sampai di
puncak Sikunir. Tak lama mencari tempat, kamipun langsung mendirikan tenda di
sana. Seperti biasa, sambil menunggu sang fajar, kami bercengkrama dan
beristirahat.
Fajar datang
dan kami berbahagia. Akhirnya bisa juga kami melihat sunrise yang konon
terindah seAsia. Ya, memang sangat indah hingga kami tak dapat mengucapkan
apa-apa selain ucap syukur kepada-Nya yang telah mempertemukan paagi dengan
mata kami ini.
Setelah puas,
kami berbenah dan kembali berjalaan menuju pendakiaan gunung Prau, namun
nyatanya kami nyangkut dulu di tempat wisata yaitu Telaga Warna Dieng. Telaga
ini adalah salah satu tempat yang menarik dikunjungi di Dieng, selain wisata
candi, Kawah Candradimuka, dan sumur Jalatunda. Untuk memasuki telaga warna kala itu,
wisatawan lokal hanya dibebani tiket seharga Rp.50.000, sedangkan wisatawan
asing adalah Rp.100.000. Biaya tersebut digunakan untuk perawatan fasilitas
seperti pengelolaan sampah dan kamar kecil. Puas menikmati pemandangan telaga
yang kadang berwarna biru dan berubah menjadi hijau akibat algae yang hidup di
dalamnya tersebut, kami kembali menuju pos pendakian gunung Prau.
Angkutan umum
semacam metro mininya jakarta adalah salah satu alat transportasi selain mobil
bak terbuka. Saat itu kami menggunakan metro mini tersebut menuju pos
pendakian. Hanya sekitar 15 menit kami sampai di sana. Di sana kami
beristirahat sambil bertanya-tanya tentang keadaan jalur pendakian ini sebagai
tambahan informasi, karena pastinya kami terlebih dahulu mencari informasi
melalui media lain.
Kami memilih
melakukan pendakian di malam hari setelah sholat isya. Kurang dari dua jam
ternyata kami sudah sampai di puncak. Kembali lagi seperti aktivitas di gunung,
yaitu mendirikan tenda, masak, makan, ngopi, ngobrol sambil menunggu sang
mentari. Pukul empat pagi kami telah terbangun karena sangat dinginnya udara di
ketinggian 2565 MDPL tersebut. Bintang berhamburan di langit dan kami
menikmatinya.
Langit mulai
memerah, inilah yang kami nantikan. Sunrise, ya betapa senangnya hari ini
terlihat cerah. Ternyata pengunjung saat itu sangat banyak, mereka sama saja
seperti kami yang haus akan keindahan alam. Di puncak sana dapat terlihat
dengan jelas beberapa puncak gunung, seperti Sindoro, Sumbing, Slamer, Merbabu,
Merapi, dan Ungaran. Kami serasa berdiri di atas awan yang empuk.
Tak ada
duanya perjalanan kami yang satu ini. Bacalah apa yang ada disekitarmu. Boleh
menikmati namun tetap senantiasa menjaga kelestariannya.
twitter : @viedela_ve
Tidak ada komentar:
Posting Komentar