Sebutan kampung nelayan karena
mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Nelayan adalah orang yang mata
pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, terutama di laut. Sehingga tidak
semua kampung pesisir dapat disebut kampung nelayan. Desa Les memiliki 9 banjar
(dusun) yang beberapa diantaranya berada di pesisir dan mayroritas
masyarakatnya adalah nelayan. Salah satunya adalah Banjar Penyumbahan, berada
paling selatan desa dan berdampingan dengan laut. Banyak perahu bersandar di pantai yang berbatu, kira-kira
70 perahu, salah satunya adalah milik Pak Cik, seorang nelayan yang telah
melaut sejak muda.
Namun selain melaut, dulu dia
pernah bekerja di sebuah perusahaan pengekspor karang yang sekarang sudah
ditutup karena regulasi yang melarang penjualan karang. Dia juga pernah menjadi
penangkap ikan hias yang saat ini sudah tidak lagi karena tidak ada tengkulak
lagi yang menampung tangkapan ikan hias. Selain itu penangkapan ikan hias
dengan cara yang tidak ramah lingkungan seperti menggunakan potassium sudah
dilarang dan beriringan dengan kesadaran masayarakat itu sendiri.
Saat ini Pak Cik mengerjakan
banyak hal seain melaut, contohnya adalah sebagai pmelihara sapi. Sapi itu
adalah milik orang lain yang dititipkan kepada keluarga Pak Cik untuk
merawatnya, kemudian akan dijual dalam jangka waktu tertentu atau sesuai dengan
keinginan pemilik modal, namun biasanya minimal 6 bulan baru bisa dijual.
Mereka memiliki sistem tersendiri dalam mengatur pembagian hasil yang harus
sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Pekerjaan seperti ini banyak dilakukan
oleh masyarakat penyumbahan sebagai pendapatan sampingan selain melaut.
Prosesnya adalah pemilik modal menyerahkan
uang kepada pemeliraha untuk dibelikan anakan sapi. Anakan sapi dipilih sendiri
oleh pemelihara, karena biasanya mereka yang tahu bibit unggul yang sehat dan
lebih cepat tumbuh, karena ini berpengaruh juga dengan pendapatan mereka
nantinya. Sistem yang Pak Cik pakai adalah 30% keuntungan untuk pemelihara, dan
70% untuk pemilik modal. Disamping itu Pak Cik juga mmemelihara babi miliknya
sendiri. dia memilih babi karena perawatannya yang mudah dan permintaannya banyak. dia bisa menjual babi kapan saja dia
mau. Istrinya juga membantu dalam pekerjaan ini, seperti menyiapkan makanan
untuk hewan-hewan ternaknya. Terutama ketika Pak Cik sedang pergi untuk bekerja
di tempat lain seperti menjadi guide untuk diving dan snorkeling, atau sesekali
menjadi buruh bangunan.
Istri Pak Cik merawat anaknya
sepanang hari, sembari merawat kebun kopi milik orang lain. Hal yang dilakukan
adalah memanen buah cokelat setiap pekan. Setelah panen dia harus mengupas dan menyimpannya
dulu di dalam karung tertutut selama 2-3 hari agar air keluar dengan sendirinya
sehingga proses penjemuran nantiya tidak teralu lama. Jika itu diilakukan maka
penjemuran di bawah matahari ketika musim kemarau hanya membutuhkan waktu 2-3
hari. Selain lebih cepat dalam pengeringan, menyimpan biji cokelat dalam karung
juga membuat biji kerig lebih awet dan bagus. Karena proses penjemuran yang
tidak terlalu lama sehingga paparan matahari dan bakteri di biji cokelat tidak
terlalu banyak. Pekerjaan merawat kebun cokelat akhirnya harus dilakukan setiap
hari karena pohon yang dipanen berbeda-beda. Pemelihara memiliki hak 30% dari
penjualan biji cokelat kering, sisanya untuk pemilik lahan. Harga biji cokelat
kering saat ini berkisar antara Rp.25.000 sampai Rp.30.000 per kg. Dia
menjualnya ke tengkulak yang seringkali datang atau diantarkan sendiri ke
tengkulak jika hasilnyasudah menumpuk. Karena jika tidak langsung dijual maka
akan cepat rusak dengan penyimpanan sederhana. Keluarga Pak Cik menghasilkan
kurang lebih 30 kg per bulan.
Kepemilikan lahan sampai saat ini
belum merata. Ketimpangan terjadi dimana-mana dan terlihat sangat jelas. Hal
ini membuat petani kecil kurang berdaya. Kemudian seringkali msayarakat desa
terusir ke tempat yang lebih jauh dari lahan pertanian, misalnyake daerah urban
perkotaan. Mereka menjadi buruh di perusahaan-perusahaan milik konglongmerat. Selanjutnya
mereka diperlalukan sama, tidak mendapatkan hak yang layak/ setimpal dengan apa
yang dikerjakan. Atau mereka terusir ke daerah terpencil dengan sumberdaya yang
terbatas sehingga harus bekerja lebih keras untuk menghidupi kehidupannya,
misalnya di hutan pedalaman yang kemudian harus membuka hutan terlebih dahulu
untuk dijadikan lahan pertanian. Namun setelah itu turunlah kebijakan
pemerintah yang membatasi gerak masyarakat bahkan hanya untuk mencari makan
sehari-hari karena alasan konservasi. Banyak lagi hal yang mungkin terjadi dengan
melihat kasus ini. Itu semua adalah dampak dari lambatnya pemerintah dalam
menjalankan Reforma Agraria. Semakin lama maka masyarakat kecil yang
persentasenya jauh lebih tinggi akan semakin terhimpit dan tidak berdaya
sedangkan masyrakat kelas atas saling berebut kekuasaan.