|
Kebun Ve di samping rumah |
Bertani bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Namun pekerjaan ini seringkali diremehkan karena dikira tidak
berpendidikan, tidak banyak menghasilkan uang, apalagi penampakan petani yang dianggap
tifak keren. Kehidupan manusia tak jauh dari sumbangsih pertanian, terutama
Indonesia yang dikenal dengan negeri agraris. Nyatanya luasan lahan pertanian
saat ini semakin berkurang, disebabkan oleh banyaknya pengalihfungsian menjadi
gedung, jalan, pertambangan, dan lain-lain. Selain itu keinginan masyarakat
untuk menjadi seorang petani juga semakin rendah. Ada juga keinginan yang kemudian
dibatasai oleh orang terdekat. Misalnya seorang anak yang menginginkan menjadi
petani untuk meneruskan/ menggantikan orangtuanya namun tidak diijinkan
orangtua, karena mereka akan merasa tidak sukses telah memberikan fasilitas dan
pembelajaran pada anaknya jika berujung pada anaknya menjadi petani.
|
Terong sedang berbunga |
Hal itu tidak terjadi pada
Suhada, seorang petani, peternak, pedagang, sekaligus pensiunan pegawai negeri
sipil itu menginginkan jalannya sebagai petani diteruskan oleh anak cucunya. Sayangnya
tidak satupun anaknya berhasil menjadi petani. Sebanyak 5 orang anaknya
memiliki profesi yang berbeda-beda, namun tak jauh berbeda dari orangtuanya. Anak
pertama menjadi pedagang seperti ayah dan ibunya, memiliki toko yang saat ini
menjadi pusat pembelajaan bagi banyak retailer di desa-desa sekitar. Anak keduanya
mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang guru pegawai negeri sipil. Dia adalah
satu-satunya anak yang menginginkan menjadi petani di samping pekerjaannya
mengajar. Namun dia menyadari bahwa setelah berkali-kali mencoba nyatanya dia
tidak bisa. Dia meyakini bahwa petani selain pekerjaan yang bisa dipelajari,
ini juga sebuah hidayah. Karena sekeras apapun dia mencoba hal kecil seperti
menanam, tanamannya selalu mati walaupun sudah dirawat sedemikian mirip dengan
yang dilakukan ayahnya. “Menanam itu tergantung tangannya, kalau saya yang
nanam pasti mati entah kekeringan atau malah membusuk, padahal caranya sama,
tempatnya sama, yang ditanam juga sama dengan kakek (Suhada)”, katanya sembari
menyirami tanaman cabai yang mulai kering. Anak ketiga, menjadi peternak
sekaligus jual beli kambing dan sapi. Anak ke empat menjadi seorang
perustakawan di suatu lembaga pendidikan. Serta anak ke lima yang lebih suka
menjual jasanya menjadi seorang supir. Namun Suhada yang kini usianya lebih
dari 70 tahun tidak berhenti mencoba mengarahkan keturunannya menjadi seorang
petani. Cucu ke-dua yang bernama Restu kali ini yang paling potensial mengikuti
jejak kakeknya. Dia memilih untuk tidak melanjutkan untuk