Segelas es teh dengan gelas
berkeringat menemaniku pagi ini. menghilangkan dahaga selepas mencuci pakaian
yang hampir penuh dua ember itu. Tiap tegukan kurasakan manis menyegarkan,
seperti air surga rasanya. Sekarang sudah tanggal 30 Sya’ban 1437 H, artinya
besok memasuki bulan Ramadhan. Yeay, bulan yang selalu ditunggu umat muslim. Di
bulan penuh rahmat itulah amat banyak penghapusan dosa dengan mudah.
Kali ini ijinkan aku mengingat
masa laluku pada bulan-bulan Ramadhan sebelumnya. Aku diajarkan puasa oleh
Bundaku ketika usiaku memasuki tahun ke-4. Namanya juga anak-anak, belajar
berpuasa mulai dari setangah hari dulu, baru kemudian bisa sampai Maghrib.
Justru saat itu aku merasa puasaku lebih mulia, halangan puasaku hanyalah lapar
dan haus. Tak seperti sekarang sudah memasuki dewasa, halangan puasanya adalah
nafsu yang lain, emosi yang susah dikontrol, apalagi kalau udah ngumpul sama
temen-temen bawaannya kurang kalau tidak ngegosip. Kembali lahi ke masa
kecilku, saat usiaku memasuki 5 tahun puasaku mulai penuh karena aku sudah
mengenal sebuah hadiah berupa baju lebaran. Semakin banyak puasa semakin banyak
pula baju lebaran yang dibelikan untukku.
Usiaku menginjak 6 tahun, aku
sudah masuk SD. Setiap Ramadhan pihak sekolah memberikan buku saku khusus
Ramadahan untuk mencatat amal yang kita perbuat seperti shalat, baca al-qur’an,
dan mengunjungi/mendengarkan pengajian. Sekarang baru aku mikir, kenapa kita
harus repot mencatat sendiri padahal malaikat sudah ditugasli oleh Allah untuk
mencatat apapun yang kita lakukan. Ternyata buku saku yang diberikan bu guru
sengaja untuk membuat kita lebih rajin dan termotivasi, karena biasanya
anak-anak selalu ingin berlomba dalam hal kebaikan. Melihat temannya sudah
mengaji sampai surat tertentu, pasti kita ingin segera menyusulnya. Tak seperti
sekarang yang lebih sering malu kalau terlihat melakukan kebaikan oleh orang
lain.
Saat belum baligh, aku selalu
bersemangat untuk mengikuti setiap tarawih. Walaupun kadang milih-milih, kalau
imamnya terkenal lama dalam membaca doa maka lebih baik pindah ke
masjid/mushola lain yang kira-kira lebih cepat selesai. Tak jarang membawa
jajanan untuk camilan kalau bosen mendengarkan ceramah di sela tarawih. Pulang tarawih tak lupa main petak
umpet dengan teman-teman. Belum banyak lampu apalagi telpon genggam seperti
sekarang yang membuat ingin cepat pulang setelah tarawih karena khawatir ada
gebetan yang mengirim pesan atau menelepon.
Sahur adalah saat yang
menyenangkan, karena kita bisa menonton acara yang aku lupa apa namanya, yang
ku ingat pasti adalah jargonnya “tut tut gujes gujes” bersama Eko Patrio.
Jargon itulah yang membuat mataku mau terbuka. Itulah saatnya aku
bermanja-manja, mau makan kalau disuapin, di atas kasur dengan selimut yang
masih melapisi tubuhku. Tapi tak lama ketika suara sirine dari masjid berbunyi
menandakan imsak tinggal beberapa menit lagi, kakiku langsung ngibrit lari ke
belakang untuk minum air putih yang banyak berharap siang tidak kehausan. Tapi
apa daya, setelah pulang dari masjid justru ingin selalu buang air kecil, jadi
beser. Setiap setelah shalat subuh pasti imam memberikan kuliah subuh terlebih
dahulu. Mau tak mau aku bersama teman-teman setia mendengarkan sembari sedikit
mencatat isinya di buku saku Ramadhan yang kami miliki. Imam akan memparaf buku
saku kami setelah kuliah subuh selesai. Tak selesai sampai di situ, pulang dari
masjid kami biasanya jalan sehat dulu mengelilingi kampung. Tak jarang pula
kami sedikit bercanda dan berlari kejar-kejaran. Tawa kami masih polos dan
ikhlas tanpa paksaan. Kami tidak harus terburu-buru pulang untuk mandi dan
berangkat sekolah, karena sekolahan memberi keringanan berupa jadwal masuk
kelas yang lebih siang 1-2 jam dari biasanya saat Ramadhan. Selain itu bapak
dan ibu guru jarang memeberikan PR untuk kami ketika Ramadhan. Nikmatnya.
dok 1 Syawal 1437 H |
Tak kalah serunya dari sahur,
justru waktu inilah yang sangat ditunggu tiap hari ketika Ramadhan. Yak,
maghrib, saatnya berbuka puasa. Kami banyak melakukan sesuatu untuk menyambut
saat berbuka itu. Seringkali kami jalan-jalan entah di sawah atau di sekitar
kampung saja. Jalan kaki maupun mengayuh sepeda tak masalah bagi kami. Tak
jarang juga kami banyak jajan untuk berta’jil, yang biasanya justru tak habis
dimakan. Namanya saja orang lapar, pasti hanya laper mata. Cendol yang biasanya
terlihat biasa saja seolah menjadi amat menggoda di sore hari menjelang maghrib,
mau tak mau aku membelinya. Kadang aku juga membantu bundaku menyiapkan
hidangan untuk berbuka, tapi tetap sama aku menginginkan beragam jenis makanan,
bundaku menuruti untuk membeli bahannya, kami memasaknya bersama. Saat berbuka
tiba ternyata semua itu tak habis dimakan. Sekali lagi, laper mata. Makanan
yang paling aku sukai dan menjadi ciri khas saat Ramadhan adalah kolak pisang
dengan gula merah sebagai pemanisnya. Hmm, kan jadi ngiler siang bolong.
Sepuluh hari sebelum lebaran tiba
merupakan agenda wajib bagiku untuk melakukan iktikaf dengan nenek dan kakek.
Merekalah yang mengajarkanku caranya mendapatkan pahala yang banyak walaupun
sampai sekarang aku tak tahu bagaimana wujud sebuah pahala. Setiap malam ganjil
dalam 10 hari menjelang lebaran kami berdiam dalam gelap di sebuah masjid.
Shalat dan berdoa kepada Allah untuk sebuah kebaikan, apapun yang aku mau aku
lontarkan pada-Nya. Sekarang aku malu, karena untuk shalat wajibpun tak
jarang masih terlewat. Sungguh aku
merindukan cara melewati dan menikmati Ramadhan seperti masa kecilku.
Mari kita saling memaafkan
mengosongkan dendam sesama untuk menyambut datangnya Ramadhan 1437 H. Semoga
kita semua bisa mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dan menghapus dosa
hingga sebersih-bersihnya. Marhaban Ya Ramadhan.
Twitter : @viedela_ve
IG : ViedelaAK
Phone : 085742283163