Sumba dari ketinggian |
Terlepas dari hal tesebut, saya
ingin cerita mengenai perjalanan di Sumba Timur selama sepuluh hari di
pertengahan September 2019. Perjalanan kali ini kami sebut PSS 'Perjalanan Singkong Sumba', karena perjalanan itu terwujud atas dasar obrolan singkong. Aku memang menyukai singkong karena
rasanya yang unik, apalagi dia merupakan bahan dasar dari banyak makanan di
kampung halamanku. Sehingga aku bisa merasakan kenikmatan dari ubi kayu itu.
Ibu-ibu di Desa Umamanu, Kecamatan Lewa sedang membuat olahan singkong |
Seorang teman yang ku kenal
setahun lalu menghubungiku “Hai Ve, bagaimana kabar? Masih suka makan singkong?”,
ku jawab “Pastinya! Ada apa dengan singkong?”. Obrolan mengenai singkong
berlanjut berhari-hari, sehingga pada akhirnya dia mewarkan kepadaku perjalanan
Sumba Timur untuk belajar tentang singkong bersama masyarakat. Tanah Sumba Timur memang cocok untuk tanaman
umbi-umbian, salah satunya singkong. Namun masyarakat belum banyak
memanfaatkannya. Mereka sudah puas dengan singkong rebus sebagai teman minum
kopi di pagi hari. Jika perut mereka dirasa sudah tidak mampu lagi menampung
singkong, maka akan dibagikan kepada babi dan ternak lainnya. Aku suka cara
mereka berbagi, karena menurut mereka, ternak juga harus merasakan apa yang
kita rasakan, terutama dalam hal makanan.
Bagi saya, yang paling tidak, pernah
merasakan berbagai makanan yang terbuat dari singkong sejak masa kanak-kanak, rasanya sayang sekali
jika diresbus saja sudah memuaskan. Ya, perjalanan ini menjadi dilema
sebenarnya. Kami ingin membuat masyarakat bisa mengolah pangan lokalnya,
singkong itulah tadi. Tapi kami juga khawatir nantinya jika masyarakat sudah
bisa mengolah singkong menjadi berbagai macam makanan manusia, bagaimana nasib
ternak? Tapi seiring berjalannya waktu, banyaknya diskusi membuat kami
menemukan solusi sehingga ternak masih tetap bisa makan walaupun bukan
singkong.
Opak singkong yang telah dikukus |
Makan Kerupuk Combro |
Kami bersemangat bersama-sama
untuk menumbuhkan rasa cinta pada bahan pangan lokal. Mimpi sederhana sekaligus
luar biasa dari kami adalah membuat semua orang di Sumba bisa manikmati makanan
dari tanahnya sendiri. Mimpi itu muncul setelah kami lama tertidur. Banyak produk
yang beredar di Sumba Timur sendiri ternyata berasal dari pulau lain. Padahal kami
tahu bahwa di banyak bahan pangan di Sumba Timur. Saya sedih, pertama kali
datang ke kios kecil di sana, ada anak-anak kecil membeli mie instan kemudian
mereka bermain sambil ngemil mie instan tanpa dimasak. Ya, mie instan menjadi
jajanan kesukaan mereka. Saya berharap setelah ini jajanan anak-anak beralih ke
makanan ringan lokal.
AYO MAKAN SINGKONG!