“Sawah membangun harapan” adalah ungkapan Pak Tarno ketika mengajak saya dan teman saya yang bernama Bahrul pergi ke sawahnya. Harapan apa sih yang ada di sawah, saya pun awalnya masih menerka-nerka. Kemudian bapak yang berusia 52 tahun itu meneruskan kalimatnya bahwa saat ini dia sangat berharap dengan hasil dari sawahnya. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap namun setiap hari dia tetap ke sawah. Dia sering dipanggil orang untuk memijat. Bagi dia, bakat memijat telah dititipkan Tuhan padanya, dan dia bersyukur. Anaknya juga rupanya memiliki bakat yang diturunkan oleh ayahnya. Jadi pendapatan mereka tidak pasti, tergantung seberapa ramai permintaan pijat itu.
Tidak banyak jenis yang dia tanam. Dia memiliki sepetak tanah yang rutin ditanami padi, itu menjadi komoditas pokok yang tidak boleh digantikan. Dia juga menanam di petak yang lain berupa cabai atau tomat secara bergantian. Tanah tersebut adalah milik Pak Tri, tetangganya. Mereka memiliki kesepakatan kerjasama sendiri. Namun pendapatannya juga tidak pasti karena harga cabai dan tomat itu seringkali bergejolak. Bisa dihargai sangat rendah. Hal itu yang membuatnya berfikir untuk menanam komoditas lain.
Pak Tarno membangun harapa dari sepetak sawah |
Pada suatu hari bapak beranak 4 ini berbincang dengan kawannya yang benama Pak Tri dan sekaligus pemilik tanah. Dia menyarankan agar Pak Tarno menanam bunga telang. Awalnya Pak Tarno tidak tahu sama sekali mengenai bunga telang, begitupun dengan Pak Tri yang baru tahu dari kabar mengenai Mbah Budi di Dusun Tulung. Cerita mengenai bagaimana Mbah Budi dengan bunga telangnya tidak hanya berkaitan dengan nilai materi yang didapatkan namun juga manfaat yang diberikan.