Banyak yang hari ini mengeluh dengan badannya yang terus menggendut, kadar gula dalam darahnya yang terus meningkat, mudah lelah, merasa metabolisme tubuh yang berantakan, menstruasi yang tidak beraturan, dan lain sebagainya. Banyak juga dari mereka yang hanya mengeluh saja tanpa menganalisis apa yang terjadi. Bagaimana pola makan dan asupan yang masuk ke dalam tubuhnya.
Semenjak diserang covid-19, kita baru menyadari bahwa kebiasaan hidup kita ada yang salah sehingga harus diperbaiki. Kita takut segera mati karena imun yang terserang oleh virus covid yang sangat mudah menyerang itu. Pada akhirnya dalam seketika, semua orang mengkonsumsi makanan sehat, beralih ke organik, mulai suka berjemur di pagi hari, dan memperbanyak olahraga. Mengapa dari dulu kita tidak melakukan kebiasaan baik itu? Apakah kita terlalu sibuk untuk bekerja? Apakah kita harus diingatkan oleh serangan penyakit terlebih dahulu? Tapi mengapa harus sibuk bekerja? Apakah ada kesalahan dari sistem pekerjaan kita, entah dari efisiensi waktu, efisiensi tenaga? Bekerja lebih dari 8 jam sehari sudah menjadi hal yang dibuat wajar oleh masyarakat, belum lagi perjalanan berangkat dan pulang ke kantor yang juga memakan waktu lama. Banyak juga pekerjaan yang harus bertatap muka, padahal bisa dikerjakan di mana saja.
Kembali lagi, aku sendiri sudah memulai bergaya hidup sehat sejak beberapa tahun lalu. Tentu saja jenis gaya hidup sehat di sini versi aku sendiri. Makanan sehat menjadi salah satu fokus aku saat ini. Aku mencoba sebisa mungkin untuk memasak sendiri apa yang aku konsumsi agar semua gizinya dapat tertakar sendiri walaupun tidak sedetail para pakar gizi. Gula menjadi salah satu sumber manis yang sangat aku tekan setelah mengetahui bahwa orangtua dan garis keturunan ke atas memiliki riwayat diabetes.
Aku sangat tersiksa melihat nenekku hanya bisa terbaring di kasur, harus sangat membatasi makanan, bahkan manis buah asli sekalipun sudah hampir tidak boleh disentuh. Badannya sangat kurus tidak berdaya, kulitnya merasakan gatal yang tidak mengetahui dimana sumbernya. Merasa gatal di sini tapi saat digaruk tidak juga menyembuhkannya. Kegiatan meminum obat setiap hari membuat saya merasa pilu. Sehari bisa berkali-kali dengan jumlah yang tidak sedikit untuk sekali minum. Apalagi, dia mengalami titik kesehatan terendah tersebut pada saat covid sedang marak-maraknya sehingga bukan saja dia yang panik, semua keluarga dan kerabat. Mungkin tidak ada sedetikpun kita merasa tenang.
Selama satu tahun penuh hanya empat sisi dinding kamar saja yang dapat dipandang sepanjang hari, akhirnya dengan keajaiban entah dari mana, dia berangsur pulih. Namun berita mengenai pulihnya tidak juga sepenuhnya menenangkan. Dia harus sangat berhati-hati menjaga asupan makanannya, juga pikirannya agar tidak mudah stress. Karena ternyata kemudian baru disadari selain diabetes, dia juga memiliki keluhan asam lambung yang selalu tinggi dan tentu salah satunya karena tingkat stress yang kerap kali tinggi.
Asam lambung nenek itulah juga menjadi alasanku menjaga pola makan. Dulu aku selalu menyepelekan sarapan, jangankan sarapan, bangun saja selalu kesiangan hingga hampir mendekati waktu makan siang. Saat makan siang aku merasa kembung dan mudah bersendawa. Lalu makan malam yang terlalu malam karena susah untuk tidur pada waktu yang tepat. Pokoknya semua berantakan, baik pola makan maupun pola istirahat. Mungkin itu juga penyebab masa ototku susah naik padahal hampir setiap hari olahraga.
Akhir-akhir ini banyak juga berita tentang stunting, entah itu memang suatu hal yang baru atau aku yang baru mengenalnya. Aku tidak ingin orang-orang di dekatku merasakan hal yang sama. Terutama karena aku tinggal di desa saat ini, menurutku tidak wajar jika ada kasus stunting di desa. Desa kami bertanah subur, menghasilkan sayuran terbaik, tempat hidup yang baik juga untuk ayam yang bisa bertelur dan ikan lele atau mujair yang bisa berkembang biak. Rumah kami tidak terlalu menempel satu sama lain sehingga banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan kita.
Anakku berusia hampir 3 tahun saat ini. Perpindahan keluarga kecil kami dari kota yang sempit ke desa yang luas ini pun salah satu keputusan kami yang beralasan, ingin memberikan lingkungan yang sehat dengan udara yang masih relatif bersih, juga pangan dengan rantai pasok yang pendek. Kita bisa masak sayur yang didapatkan dari kebun sebelah rumah, atau setidaknya dari kebun milik tetangga, atau membuat telur ceplok dari kandang belakang rumah yang diambil tadi pagi sambil memberi sarapan kepada ayam.
Bertahun-tahun aku meninggalkan kampungku, banyak makanan yang aku rindukan. Terutama ‘bobo’ buatan nenekku, ya memang lebih banyak makanan nenekku yang aku ingat dibandingkan dengan buatan ibuku. Tentang ibuku, lain hal lagi yang nanti akan ku ceritakan, mengenai kebersihan dan kerapihannya.
‘Bobo’ adalah makanan yang terbuat dari jagung, nenekku bilang itu juga salah satu makanan yang dia sukai saat kecil, ibunya (buyutku) dulu sering membuatkan untuknya. Nenekku mengatakan bahwa dulunya ‘bobo’ adalah makanan yang dibuat dari jagung yang panenan yang jelek, bahkan sepertinya lebih cocok untuk pakan ternak. Namun saat aku kecil, nenekku membuat ‘bobo’ dari jagung muda yang legit dan segar. Aku tidak bisa melupakan rasa ‘bobo’ yang rasanya manis, gurih, legit, bau jagung bercampur gula aren yang khas ketika dikukus. Dia memang jagonya.
Aku juga merindukan sambal krangean buatan nenekku dari garis keturunan bapakku. Krangean atau dalam bahasa latin dikenal sebagai Litsea cubeba merupakan salah satu tumbuhan anggota family Lauraceae yang memiliki berbagai kegunaan seperti bahan baku minyak wangi, penyedap rasa, kosmetik, dan obat-obatan. Aroma krangean yang bercampur dengan terasi bakar, cabai, dan bawang juga tidak pernah aku lupakan.
Satu lagi makanan enak adalah buatan tangan tanteku yang terbuat dari bahan yang kebanyakan dilihat sebagai sampah oleh banyak orang, yaitu tumis kulit melinjo. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kulit melinjo bisa dimakan, tekstur yang kasar dan warna yang mencolok itu ternyata enak sekali dimasak tumis pedas dan dimakan dengan nasi jagung. Wah tidak ada duanya. Oh ini membuat aku jadi teringat juga dengan pulennya nasi jagung putih.
Nasi jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang sangat sering aku temui sehari-hari pada masa kecilku. Proses membuatnya termasuk lama, butuh waktu dua malam untuk merendam jagung, menghaluskan (menjadi tepung) dan bahkan memasaknya yang dikukus dua kali untuk mengaron dan mematangkan. Tapi ketika disajikan bersanding dengan nasi beras, maka nasi jagunglah yang aku pilih. Artinya begitu menarik dan enak nasi jagung itu buatku.
Dari begitu banyak jenis makanan yang menarik, tidak semuanya masih tersedia atau terbiasa dibuat oleh setiap keluarga di kampung halamanku. Bahkan beberapa dari itu sudah diproduksi untuk dijual di hari-hari tertentu saja, misalnya nasi jagung. Alasan repot dan proses yang lama seringkali terungkap dari para orangtua. Dulu mereka membuat nasi jagung karena harganya lebih murah. Jika mereka menanam keduanya, maka lebih baik menjual beras untuk membeli lauk dan jagung dimanfaatkan untuk kebutuhan karbohidrat. Hal itu salah satunya juga karena anggota keluarganya yang begitu banyak, mungkin tidak cukup jika mereka harus memakan nasi beras terus menerus.
Sebegitu nyaman di hidung, di lidah, dan di lambung. Jenis makanan begitu beragam yang kita kenal sebagai diversifikasi pangan, membuat tubuh memiliki berbagai jenis zat gizi yang saling melengkapi. Itulah trik sehat orang tua kita yang lama-kelamaan pudar. Sangkin sibuknya kita sampai-sampai lupa menyiapkan apa saja yang akan kita makan, baru ingat saat sudah lapar, tinggal pesan saja nanti ada yang antar. Entah bagaimana kebersihan dan kesegaran bahannya, apa saja komposisi lengkapnya, adakah bahan berbahaya yang ditambahkan atau tidak, belum lagi kemasan yang mungkin mengandung bahan berbahaya.
Selain makanan, orang dulu juga banyak bergerak dengan keberadaan teknologi yang masih minim. Harus jalan untuk memanggil tetangga yang berada di gang sebelah, yang mana sekarang bisa langsung pencet handphone, berdering, dan di sebelah sana sudah mengerti pesan yang ingin kita sampaikan. Orang dulu harus menumbuk padi untuk mendapatkan beras, yang sekarang bisa dikerjakan oleh mesin penggiling padi. Orang dulu harus menunggang kerbau untuk membajak sawah, sekarang ada traktor yang lihai dalam berbagai jenis pekerjaan di sawah.
Semestinya kita, generasi yang serba instan ini kembali ke gaya hidup orang dulu sebelum terlambat. Yuk makan lebih sehat, lebih beragam, kalau bisa mengolah sendiri pasti akan lebih baik karena kita bisa menakar kebutuhan masing-masing bahan yang diperlukan. Perbanyak juga olahraga jika aktivitas kita tidak begitu menggunakan otot yang digerakkan. Bersosialisasi dengan cara sederhana menghasilkan tawa canda juga yang murni sehingga menghasilkan hormon pembawa bahagia.